BLOGGER TEMPLATES AND Friendster Layouts »

Monday, April 25, 2011

PERJALANAN HIDUP SEORANG ANAK PETANI

Sebenernya ini tugas bahasa indonesia gue. jadi di sini, gue nyeritain kehidupan seseorang nih.. nah berhubung kalo gue simpen di rumah dan nggak mungkin pecah sekalipun udah gue eremin, yaudah gue posting aja.. ENJOYYY (dengan perubahan yang ada)
--------------------------------------

“Ibu, Bapak, Naryo pergi sekolah dulu ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Belajar yang bener, biar pinter ya, Nak,” jawab orang tua Sunaryo setengah berteriak melihat anaknya yang sudah jauh mengayuh sepeda.

Mungkin kalimat itu lah yang selalu diucapkan oleh Sunaryo kepada ibu dan Bapaknya sebelum berangkat sekolah. Tak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya. Ia pergi menuju sekolah SD Tawang Sari di Boyolali, seperti biasa, ia selalu mengayuh sepeda buntutnya dan menempuh jarak yang cukup jauh. Kurang lebih 4,5 kilo meter ia mangayuh sepedanya di pagi hari hari. Begitu pula saat ia pulang sekolah.

Dengan jarak yang cukup jauh itulah, Sunaryo berangkat dari rumah jam enam pagi agar tidak terlambat. Maka tak heran ketika sampai di sekolah, ia merasa lelah dan penuh keringat. Perlahan ia mengelap butir demi butir keringatnya dengan sapu tangan lapuknya. Sarapan yang dinikmatinya pun sudah terganti oleh butiran asin yang mengucur dari rambut keritingnya.


“Sunaryo, kamu bisa maju ke dapan?”

“Ya bu,” jawab Sunaryo yang berusaha untuk bangkit dari rasa lelahnya.

Pelajaran di hari itu adalah matematika, Sunaryo pun mengerjakan soal yang ada di papan tulis dengan baik. Walaupun ia masih merasakan lelah yang teramat yang selalu ia nikmati sangat setiap harinya, ia tetap berjuang. Di dalam darahnya ia begitu yakin, suatu saat nanti, ia bisa menikmati hasil yang memuaskan.

Sunaryo merupakan anak yang pintar di sekolahnya, setiap semester, selalu tercantum tulisan peringkat satu di rapotnya. Hal itu tidak ia dapat dengan mudahnya. Setelah sekolah ia buru-buru mengayuh sepedanya ke rumah. Walaupun terkadang ia begitu ingin untuk bepergian sejenak bersama teman-temannya, tapi ada sesuatu yang menahannya, yaitu tanggung jawab. Sunaryo memang selalu menjadi peringkat satu, tetapi ada yang mebuat hatinya merasa sedih. Dari dulu, kedua orang tuanya tak pernah memberikan ucapan selamat kepadanya. Tetapi Sunaryo memakluminya karena orang tuanya memang tidak terlalu memprioritaskan sekolah mereka, yang terpenting adalah ‘pernah bersekolah’. Selalu dan selalu yang mereka pikirkan adalah dapat makan dan memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Ya, orang tua Sunaryo adalah sepasang petani, dan mempunyai sepuluh anak. Sunaryo adalah anak ke-sembilan dalam keluarganya. Oleh karena itu, setelah pulang sekolah, mereka mempunyai tugas untuk membantu orang tua mereka membajak sawah, setelah makan siang, sembahyang dan berganti pakaian. Sunaryo pun dengan senang hati mengerjakan tugas itu tanpa mengeluh. Setiap pukul tiga sore, mereka beristirahat di pematang sawah. Tak lupa sebelumnya, sepuluh bersaudara tersebut telah mempersiapkan buku-buku yang hendak mereka baca, atau pun pekerjaan rumah yang pada hari itu diberikan pada mereka. Sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mereka dengan baik.

Sunaryo mulai beranjak remaja, ia ingin meneruskan pendidikannya ke sekolah menengah pertama, setelah lulus sekolah dasar tahun 1973. Sunaryo mendaftar di SMP 1 Boyolali. Begitu bersyukurnya ia dapat diterima di sekolah unggulan di Boyolali. Hal itu lah yang membuat motifasi Sunaryo terus bertambah setiap hari. Masih seperti saat sekolah dasar dahulu, ia masih menggunakan sepeda ontelnya untuk menuju sekolah yang jaraknya dua kali lebih jauh dari SD nya dulu.

Di SMP 1, ia mendapatkan kelas unggulan berturut turut. Ia begitu rajin menulis catatan, sehingga tak heran teman-temannya selalu meminjam catatannya.

“Naryo, boleh pinjam catetan kamu nggak?”

“Oh, boleh kok. Ah kamu ini, minjem catatan pas mau ulangan aja.”

“Wajarlah, namanya anak muda, sistem kebut semalam. Hahaha.”

Hal mengenai predikat Sunaryo pun tetap melekat di dalam dirinya sampai SMA. Ia melanjutkan pendidikannya di SMA 1 Boyolali, yang lagi-lagi merupakan sekolah unggulan di Boyolali. Ia tetap bisa membagi waktu antara belajar dengan tekun tekun dan membantu orang tuanya di sawah. Walau ia telah berada di sekolah favorit, ia tidak malu untuk tetap membantu orang tuanya di sawah. Sampai ada sebuah kejadian yang begitu mengganjal hatinya.

“Ayolah, sampai kapan kamu mau terus-terusan ngebantuin orang tuamu di sawah? Kalau kau terus-terusan kayak gitu, gimana denganmu nanti? Pinter aja nggak cukup, Naryo. Sekali kali aja kok, ayo ke mall! Masa iya orang tua kamu bakal kayak gitu terus ke kamu,” ucap salah satu temannya.

“Maaf temen-temen, bukan masalah mau atau nggak, aku ngebantuin mereka. Tapi ini memang rutinitas aku. Lagian masa iya, semua kakak-kakak ku ngebantuin orang tua aku. Nah aku nggak? Maaf ya temen-temen,” dengan perlahan Sunaryo menjawab ajakan temen-temannya.

Sesampainya di sawah, ibunya merasa Sunaryo sedang mengalami hal yang tidak enak. Lalu ia pun bertanya kepada anaknya itu.

“Kamu kenapa, Nak?”

“Nggg? Nggak papa, Bu,” jawabnya lemah.

“Coba certain sama Ibu dulu. Ibu ngeliat hari ini kamu nggak semangat. Pasti ada masalah. Apa ada masalah di sekolah?”

“Bukan itu, Bu, tadi Naryo diajakin temen-temen buat jalan-jalan, tapi Naryo tolak. Eh tapi kaata mereka, gaul itu perlu, Bu. Jadi mmm secara nggak langsung Naryo kayak orang yang culun banget..”

“Sebenernya Ibu setuju sama pendapat mereka. Gaul itu emang penting, tapi mungkin ada dua kata gaul yang pengertiannya beda jauh.”

“Maksudnya?”

“Kamu liat aja deh temen kamu itu, gimana dia sekolah, nilai-nilainya, bahkan perilakunya. Gaul yang baik itu kan saling mengenal temen-temen baru. Bukan dengan anak yang sering jalan-jalan itu gaul, lho. Justru kalau gaul yang seperti itu udah kelewat batas, malah bisa merugikan diri sendiri. Ya, kan?”

“Iya juga sih, lagian Naryo juga seneng kok bisa ngebantuin Ibu di sini,” jawab Sunaryo seraya tersenyum. Ia pun dengan segera mengambil cangkul dan membantu ibunya kembali.

SMA pun telah ia lalui dengan hasil yang memuaskan. Sedangkan temannya yang selalu berjalan-jalan itu, hanya mendapatkan nilai standar kelulusan. Sunaryo dengan segera mengucap syukur pada Alllah SWT. Walaupun Sunaryo telah berhasil lulus dengan hasil yang ia dambakan, tetapi ia bingung hendak kemana ia melanjutkan kuliah.

Keesokan paginya, ketika Sang Raja mulai menampakkan semangat lewat sinar keemasannya, Sunaryo membantu kedua orang tuanya di sawah bersama saudara-saudaranya yang kebetulan di hari itu memang libur.

“Naryo, kamu mau ngelanjutin sekolah dimana?” Tanya Mudzakir, kakaknya yang hanya berbeda dua tahun darinya.

“Nggak tau kak. Aku sih pengen banget kuliah di fakultas hukum, tapi untuk masuk kuliah aja butuh banyak uang. Sedangkan ibu….” Ia membiarkan kalimatnya menggantung.

“Ya, kakak tau kok.” Jawab kakaknya yang sudah tidak tahu lagi mau menjawab apa. Memang dari jaman dahulu, mereka saja hanya bisa berharap untuk dapat melanjutkan pendidikan mereka.

Mereka pun bekerja membantu orang tuanya. Setelah lelah bekerja, mereka bersama-sama beristirahat di pematang sawah. Sunaryo pun yang begitu ingin melanjutkan kuliah, memulai percakapan di siang hari yang terasa begitu panas.

“Bu, kan Naryo udah lulus SMA nih. Boleh nggak ngelanjutin ke kuliah?” ucap Sunaryo dengan perlahan.

“Ibu sebenernya juga pengen banget nyekolahin kamu ke universitas. Tapi kamu aja tau sendiri, kita makan telor dadar aja sebulan sekali. Itu pun satu telur yang dicampur dengan parutan kelapa dan dibagi dua belas orang,” Ibunya menjawab setelah mendehem.
Seolah guntur yang datang di siang hari yang panas. Begitu kuat menabrak pikirannya yang melayang. Ia pun dengan segera menghapus harapannya untuk bisa berkuliah.

Hari demi hari telah ia lalui dengan bekerja membantu orang tuanya di sawah. Hingga suatu hari, ia bermimpi bisa bersekolah di Universitas Diponegoro. Setelah ia terbangun dari tidurnya, sejenak ia berfikir untuk mencoba mendaftar di Undip (Universitas Diponegoro) Fakultas Hukum tanpa sepengetahuan orang tua dan saudara-saudaranya. Dengan modal nekat inilah, Sunaryo mencobanya. Bukan hanya karena ingin coba-coba semata, melainkan ia begitu ingin untuk menggapai cita-citanya sebagai hakim terkenal.

Separuh tak percaya, Sunaryo dapat menembus ujian itu dengan nilai yang cukup tinggi, sehingga pihak universitas memberikan beasiswa kepadanya. Dengan bangga, ia memberitahukan berita bahagia itu kepada keluarganya. Ibunya terlihat bingung dengan biaya yang nanti hendak dikeluarkan. Namun dengan mudah, Sunaryo membaca garis muka Ibunya tersebut.

“Tenang aja, Bu. Naryo selama ini udah nyusahin Ibu, jadi kali ini, Naryo nggak bakal ngerepotin Ibu lagi. Alhamdulillah pihak universitas malah membebaskan uang SPP Naryo, malahan mau dikasih uang buat beli buku-bukunya, Bu,” dengan bangga Naryo mengatakan berita ini ke Ibunya.

“Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kamu bisa kuliah. Maafin Ibu ya, Nak. Tapi memang kapan kamu tes di sana? Kok nggak bilang Ibu?” tanya ibunya yang dari tadi menangis terharu.

“Masalah itu, nggak usah dipikirin, Bu. Kan yang penting Naryo udah bisa ngelanjutin sekolah.” ucap Sunaryo yang tersedu-sedu, tak bisa menahan tangisan bahagianya.
Setelah itu, hari demi hari ia lalui dengan semangat. Semakin dekat dirinya untuk menggapai cita-citanya menjadi hakim. Selama ia di kampus, ia pernah menjadi asisten dosen, berkat kepintaran dan kepribadiannya yang rendah hati. Ia tidak pulang ke rumahnya, ia memilih untuk tinggal sebagai anak kost. Hal ini mempermudahkan ia untuk menjangkau universitasnya. Ia selalu mengunjungi perpustakaan yang ada di sana untuk membaca, walaupun jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Tetapi untuk belajar sampai jam Sembilan malam di perpustakaan tersebut tidaklah mengherankan. Di sana, begitu banyak mahasiswa yang melakukan rutinitas yang sama.

Sunaryo dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Gelar Sarjana Hukum pun telah ia kantongi. Untuk tahap selanjutnya, ia mencoba mendaftar menjadi hakim. Karena keinginannya yang besar, ia dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan baik. Ia yakin dapat lolos dari seleksi tersebut.

Hari itu juga, pengumuman sampai ke telinganya. Seperti gunting yang melintas di atas kertas putih. Pupus sudah harapannya. Ia begitu sedih karena tidak lolos dalam penyeleksian itu. Harapan panjangnya yang selama ini selalu mendorong semangatnya pun langsung tergantikan oleh rasa lemas dari berita tersebut. Impiannya untuk menjadi orang yang dapat memutuskan kebenaran publik pun telah pupus. Ia tertunduk lemah, sementara salah seorang dari temannya, yang juga mendaftar seleksi untuk menjadi hakim dapat lulus dari penyeleksian. Sunaryo masih tidak percaya, temannya itu bisa menembus tes itu, sedangkan ia tidak, karena apabila dilihat dari nilai yang ia peroleh, tentulah ia lebih pantas mendapatkan kesempatan itu. Lagi pula, pertanyaan tadi cukup mudah bagi Sunaryo.

“Oh, kamu anak yang ngambil jam sore di Fakultas Hukum kan?” tanya Sunaryo, yang dari tadi mencoba mengingat-ingat orang -yang melonjak kegirangan ketika mengetahui dirinya dapat lulus dari tes- itu. Sunaryo hampir dikenal dan mengenal seluruh mahasiswa di Undip karena ‘pekerjaan’nya sebagai asisten dosen.

“Oh, iya. Kamu sunaryo kan? Nyoba daftar jadi hakim juga ya?”

“Iya, tapi sayang banget nggak diterima, padahal itu cita-cita dari kecil. Kamu keterima?” ujarnya berbasa-basi. Ia sembari mengubur kenangan lamanya. Dimana ia berfikir bahwa hakim itu orang yang hebat. Bisa memutuskan sebuah kebenaran di tangannya. Bisa memutuskan sengketa. Bisa menjatuhkan hukuman bagi yang bersalah. Bisa menjadi orang yang dapat dipercaya negara. Bahkan selalu dilihat orang lain sebagai orang yang jujur dan berwibawa.

“Alhamdulillah sih keterima, yaudah mungkin suatu saat nanti kamu dapet pekerjaan yang lebih baik deh. By the way, pertanyaan yang dikasih hakim tadi apa ke kamu?” tanya temannya yang membuat Sunaryo terbangun dari lamunannya.

“Cuma suruh nyebutin sila kelima aja. Tapi nggak tau kok malah nggak diterima. Padahal jawabanku bener. Oh iya, selamat ya, bisa diterima jadi hakim.”

“Ya, makasih. Kamu juga jangan patah semangat ya!”

“Tentu. Makasih juga semangatnya.” Ucap Sunaryo dengan berusaha tersenyum setelah menghela nafas panjangnya.

Ia mencoba menerima kenyataan yang ada. Sunaryo pun pulang ke tempat kost nya dengan langkah gontai.

Keesokan harinya, Sunaryo menerima gosip yang beredar, bahwa ternyata, temannya yang telah diterima tersebut menggunakan jalan belakang untuk dapat diterima menjadi hakim tersebut. Sunaryo semakin geram dengan berita itu. Sebenarnya ia telah menangkap sinyal yang aneh dari perbedaan nilai dan perilaku dia dibandingkan dirinya di kampus. Ia benar-benar menyesali kondisinya. Ia sedih karena cara kejujuran yang selama ini ia miliki di jiwanya, dengan mudahnya dikalahkan oleh kebusukan oleh temannya. Bukan, ia bukan sedih. Tetapi marah, marah yang amat sangat menggerogoti hatinya. Selama berjam-jam rahang bawahnya mengeras menahan luapan amarah. Ia berusaha untuk beristighfar kepada Allah, dan segera mengambil air wudhu dan shalat.

“Ya Allah, kalau ini memang terbaik bagi Hamba, Hamba rela untuk melepas semua cita-cita Hamba menjadi hakim. Hamba percaya, Engkau lah yang Maha Benar lagi Maha Mengetahui. Mungkin apabila Hamba diterima menjadi hakim, Hamba akan melupakan-Mu, Hamba bisa berbuat hal yang tidak adil. Jadi mulai sekarang, Hamba akan bangkit lagi. Hamba tau Engkau akan memudahkan perjalanan Hamba mulai detik ini. Hamba berharap Engkau dapat membimbing Hamba. Amien Ya Rabbal Alamin.” Sunaryo berdoa sambil menitikkan air matanya, dan terus berusaha untuk bersabar.

Hari demi hari ia lalui dengan baik juga. Setelah mendaftar sebagai hakim dan tidak lulus seleksi, ia mencoba mendaftar menjadi dosen di Universitas Diponegoro. Tapi, karena sudah terlalu banyak dosen yang ada di sana, Dosennya pun menyuruhnya mendaftar di Universitas Lampung. Rasa haru pun muncul, karena ia dapat lulus dan diterima di fakultas hukum Universitas Lampung sebagai dosen S1. Orang tua beserta saudara-saudaranya turut senang mendengar kabar tersebut.

Hari demi hari ia lalui, ia memutuskan untuk tetap berlari memutar roda kehidupannya. Ia meneruskan kuliahnya di Universitas Diponegoro dengan mengambil program S2 atau program magister. Pada saat kuliah S2, ia memutuskan untuk menikah dan dikaruniai anak perempuan yang cantik.

Setelah lulus dan mendapat tambahan gelas M.Hum atau Magister Hukum, ia kembali melanjutkan mengajar sebagai dosen di Universitas Lampung. Pekerjaan ini ia tekuni sampai sekarang. Oleh karena keluarganya tinggal di Semarang, setiap bulan, ia harus mengunjungi ke Semarang sewaktu libur atau tidak ada jadwal mengajar. Sunaryo pun berfikir, terlalu sulit untuknya untuk selalu bolak-balik ke Semarang-Lampung, maka Istri dan anak pertamanya dipindahkan ke Lampung dan akhirnya menetap. Walaupun terasa sulit untuk mengunjungi kampung halamannya, karena alasan jarak yang cukup jauh, namun ia tetap berkomunikasi dengan keluarga dan saudara-saudaranya.

Sunaryo mengetahui bahwa ilmu selalu berkembang dan sangat diperlukan. Dengan alasan itu, ia melanjutkan studinya, mengambil S3, atau doktor di Universitas Lampung yang bekerjasama dengan Universitas Diponegoro. Dengan adanya kerjasama antar universitas inilah, setiap dua bulan sekali ia diharuskan untuk ke Semarang untuk belajar. Rutinitas dalam mencari ilmu baru memang menjadi motivasi bagi Sunaryo. Ia berharap, ilmu yang selama ini ia pelajari akan berguna untuk orang banyak.

Pada akhirnya, Sunaryo dapat merasakan kehidupan yang ia inginkan dengan cara berbagi ilmu kepada generasi muda dan berbakti kepada nusa dan bangsa, untuk memajukan Negara ini lebih baik.

Ia pun selalu menasihati anak-anaknya, untuk tetap menggantungkan impian setinggi-tingginya, bukan sebuah keharusan untuk benar-benar meraihnya, melainkan untuk dijadikan semangat untuk dapat meraihnya.

“Kalau kamu punya cita-cita yang tinggi, walau pada akhirnya kamu nggak bisa ngeraih cita-citamu itu, tapi paling nggak kamu dapet kesempatan yang lain yang perbedaannya hanya sedikit. Coba kalau kamu punya cita-cita yang rendah, terus kalau kamu nggak bisa meraih itu, kamu mau jadi apa?” nasihat itulah yang selalu melekat di hati anak anaknya dari mulut seorang pria yang dewasa dan bijaksana, yang merupakan seorang anak petani yang dapat memajukan pendidikan di Indonesia.

0 Comments:

Post a Comment