BLOGGER TEMPLATES AND Friendster Layouts »

Sunday, August 21, 2011

“Kenapa coba kita harus upacara? Please deh, nggak mutu banget! Hari gini masih berdiri tegap gitu, halah!” seru Amir yang malas meninggalkan kelasnya.
“Ah, gue juga nggak tau, Mir. Tapi ikutin ajalah. Lagian peraturan sekolah kan kayak gitu, Mir” balas Imam, sang ketua kelas dengan enteng.
“Tapi kan sekarang puasa!” gumam Amir yang diiringi langkah lebarnya menuju lapangan upacara. Imam yang sedang mengunci kelas hanya bisa menggelengkan kepala melihat Amir yang belum berubah.

Amir adalah anak yang pandai, tapi dibalik itu semua seluruh warga SMA Pemata Banten mengetahui bahwa Amir adalah anak yang ‘cukup’ nakal di kelasnya. Mungkin para guru sudah seharusnya bersyukur karena hari ini Amir mau mengikuti upacara bendera. Biasanya, untuk upacara setiap Senin saja, Amir selalu mempunyai tempat untuk bersembunyi, bahkan tempat yang ‘dipilih’ Amir begitu sulit ditemukan oleh guru-guru, sekalipun dia adalah guru yang sudah berpengalaman dalam menemukan ‘persembunyian’ siswa-siswinya.

“Jadi anak-anak, kegiatan upacara ini bukanlah suatu kewajiban dari masing-masing sekolah, tetapi sudah merupakan suatu kebutuhan bagi kalian,” nasihat Pak Ramli selaku pembina upacara kemerdekaan hari ini.
“Tuh kan apa coba maksudnya bapak itu! Kebutuhan gue kan makan, agak hebat juga kalo tiap hari harus upacara. Lagian, apa teksnya tinggal copy paste terus dirubah ya tanggalnya? Agaknya samaaa terus setiap tahun, dari mulai gue SD coba! Bahkan gue udah apal dikit-dikit.” Amir yang berbaris di bagian belakang mulai mendumel ketika pemimpin upacara memerintahkan istirahat di tempat.
“Sttttt Amir. Sadar dong kamu udah gede! Nggak pantes cuma mikir kayak gitu,” ujar Bulan yang berbaris di sampingnya, mencoba menasihati.
“Cieeee disamping gue ada ratu ulaar, tuh dari tadi mendesis mulu stttttttt” balasnya dengan nada yang tidak enak didengar.

“Amir! Maju ke dapan!” tiba tiba terdengar suara Bu Ayuni dari belakang telinganya. Amir yang baru menyadari keberadaannya langsung berteriak.
“Yaelah, ni anak, gitu doang udah jantungan. Mental bayi amat,” ejek anak anak yang lain.

Setelah upacara selesai, Amir di nasihati di gudang. Di ruang yang sempit, bau, dekil, kumel, dan jorok itu, para guru pembimbing menasihati Amir yang sedari tadi hanya manggut manggut.

“Ibu heran. Bener-bener heran. Udah berkali-kali masuk ruang BK, nggak ada perubahan! Kamu mau jadi apa sih naaak naak!” Seru Bu Ayuni yang terpaksa menasihati Amir di gudang buku.
“Jadi presiden, Bu” Amir menjawab dengan polos.
“Masya Allah!” Seru Bu Ayuni.
“Astaghfirullah! Tobat lagi naak naak pengen jadi presiden, apa jadinya bangsa ini kalau kamu yang mimpin, naak,” komentar Bu Tuti sambil mengelus dada.
“Tapi kan semua orang boleh punya mimpi, Bu.” Jawab Amir lirih.

“Terus kenapa kamu nggak pernah ikut upacara sebelum dipaksa? Bahkan di saat penting kayak gini, Amir? Tolong jelaskan!” Bu Ayuni kembali mengintrogasi.
“Hari ini kan puasa, jadi kalo upacara cuma bikin haus, Bu. Lagian juga amanatnya gitu gitu doang, saya aja nyampe apal!” jawab Amir lantang, lalu ia tiba tiba berpidato tentang apa yang barusan disampaikan oleh Pembina upacara. Dengan takjub, guru-guru yang ada diruangan itu melihat ke arah Amir. Terkesima.

“Walaupun kamu sudah tau apa yang disampaikan oleh pembina. Tapi juga kamu harus melakukan upacara dengan sungguh sungguh, Mir. Kamu udah tau kan sejarah kemerdekaan? Ibu yakin kok kamu masih inget, ingatan kamu itu luar biasa cerdas. Kenapa nggak digunain untuk hal hal yang berguna! Yasudah kamu masuk kelas saja sana. Ibu dengar kamu ikut lomba catur? Bentar lagi mungkin dimulai. Tapi inget, lain kali kamu nggak boleh kayak gitu lagi, ya. Hargailah pejuang yang udah menumpahkan seluruh darahnya buat kemajuan bangsa ini, Mir.” Nasihat Bu Tuti yang melembut di akhir kalimat.
“Ya, Bu,”

Amir pun menuju kelasnya. Sementara Bulan, yang ada di sampingnya langsung menasihati lembut. “Pahlawan yang namanya tidak tertulis aja, walaupun lagi puasa tetep berusaha mempertahankan kemerdekaan. Seharusnya kita juga bisa jadi penerus mereka, Mir. Mereka yang sampai meneteskan airmata ketika Sang Saka berkibar. Betapa susahnya mereka mengibarkan bendera tanpa sepengetahuan sekutu. Mereka juga justru lebih khidmat, tuh waktu ngibarin bendera. Kita sebagai penerus bangsa harusnya malu kalau nggak bisa nerusin perjuangan mereka. Cuma sekedar hormat yang bener aja males. Apa kamu nggak bisa ngebayangin para pahlawan kalau mereka melihat bangsanya jadi lemah begini?”

“Iya, sekarang gue sadar, nggak seharusnya gue kayak gitu. Makasih pencerahannya ya.” Ujar Amir tulus yang disertai dengan seulas senyum.
“Tuh kan, ngapain coba senyum-senyum gitu. Yaudah sana, buruan lomba! Semangat! Masa cuma main catur aja kalah hahaha,” canda Bulan.
“Nggak akan! Gue kan cowok!” ucapnya seraya setengah berlari menuju arena perlombaan.
“Iyaaa, cowok nggak minum rasa-rasa hahaha. Salah deng, cowok puasanya nggak boloong!” teriak Bulan dari jauh seraya melambaikan tangan.

Sejak kejadian itu, Amir pun berubah, menjadi orang yang lebih baik. Dan lebih patuh kepada orang yang lebih tua.

0 Comments:

Post a Comment